Indonesia Meraih Enam Medali
Emas:
Para Siswa Membanggakan
Jumat, 2 Mei 2003
Jakarta --Media Indonesia
Online--MARI kita jeda sejenak dari hiruk pikuk politik yang berdebu dan
letusan mesiu di Aceh dan Papua. Kita beri apresiasi kepada dunia pendidikan
yang selama ini kita kecam habis-habisan. Ternyata, di tengah prestasi
buruk dunia pendidikan kita, delapan siswa Indonesia berhasil merebut gelar
juara umum Olimpiade Fisika Asia yang digelar di Bangkok, Thailand, 20-29
April 2003.
Prestasi itu adalah kado
konkret dari dunia sekolah menyambut Hari Pendidikan yang kita peringati
hari ini. Mereka meraih enam medali emas dan dua honorable mention (juara
harapan). Enam siswa peraih emas itu adalah Rangga Perdana Budaya (SMU
Taruna Nusantara, Magelang), Hani Nukbiantoro S (SMU Sedes Sapiantiae,
Semarang), Bernard Ricardo (SMU Regina Pacis, Bogor), Yudistira Virgus
(SMU Xaverius I, Palembang), Widagdo Setiawan (SMU Negeri I, Denpasar),
dan Tri Wiyono Darsowiyono (SMU Negeri 3, Yogyakarta).
Sedangkan dua peraih honorable
mention adalah Yendi (SMU Negeri 3, Jambi) dan Muhammad Abdurahman Atamini
(SMU Negeri 6, Surabaya).
Mereka telah mengalahkan
siswa-siswa terbaik antara lain dari Taiwan, Vietnam, Israel, dan Australia.
Ini adalah hasil puncak sejak Indonesia mengikuti Olimpiade Fisika Asia
pada 2000. Pada tahun itu Indonesia hanya mendapatkan satu perak dan satu
perunggu. Sedangkan pada 2001 mendapat satu emas, satu perak, dan dua perunggu;
dan pada 2002 Indonesia memperoleh satu emas dan lima perunggu.
Tidak ada sambutan gegap
gempita buat mereka. Tidak ada obral hadiah dari para konglomerat. Yang
ada hanya kalungan bunga dari Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan
Nasional Prof Dr Makmuri Muchlas di Bandara Soekarno-Hatta.
''Kita patut berbangga bahwa
di tengah terpuruknya mutu pendidikan kita, ternyata masih ada anak-anak
bangsa yang mampu berprestasi di tingkat internasional,'' puji Makmuri.
Sebuah pujian yang kita pahami bukan lip service. Itu benar adanya.
Juga, tidak ada publikasi
yang heboh di media massa atas prestasi para siswa terbaik itu. Hanya beberapa
media cetak yang merasa penting memuatnya. Padahal, di tengah terpuruknya
dunia pendidikan kita, prestasi itu ibarat kucuran air di padang gersang.
Sungguh amat membanggakan! Mereka memberi harapan dan semangat bagi kaum
muda bahwa bangsa ini belum habis.
Publikasi dan apresiasi keberhasilan
orang-orang terbaik dari bangsa ini kini menjadi amat penting artinya.
Sebab, kita nyaris tidak punya lagi kepercayaan terhadap diri sendiri.
Kepada apa pun yang bernama prestasi. Karena itu, sekali lagi, success
story, apalagi sukses internasional, adalah inspirasi yang amat berharga
bagi bangsa yang alam bawah sadarnya telah diisi dengan berbagai-bagai
cerita kegagalan itu!
Dan, di balik sukses itu
kita juga mesti memberi hormat dan penghargaan kepada seorang pengajar
bernama Prof Dr Yohanes Surya. Ia adalah sosok yang tidak pernah lelah
membina para siswa mendalami fisika, khususnya mereka yang akan berlaga
di forum olimpiade. Pengajar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pelita Harapan ini adalah pendidik yang selalu dahaga ilmu
pengetahuan. Maka, wajar jika ia punya bujet dari kantong pribadinya rata-rata
Rp40 juta per tahun untuk membeli buku.
Tetapi, kerja kerasnya kini
kita rasakan. Sekali lagi kita beri hormat dan terima kasih kepada fisikawan
yang satu ini. Selamat kepada siswa yang mengharumkan nama bangsa. Kita
percaya, mereka akan menjadi inspirasi bagi jutaan anak-anak lain di Indonesia
agar kita menjadi bangsa yang memang layak dihormati.
Mendiknas: Seleksi Masuk
PTN Dilihat dari Nilai UAN
JAKARTA -Suara Pembaruan
(05/03/2003)--- Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang kemudian
berganti nama menjadi Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sejak tahun
lalu, tidak diperlukan lagi. Standar nilai dapat dilihat dari Ujian Akhir
Nasional (UAN) yang tahun ini mulai dijalankan. Seleksi PTN dapat dilakukan
langsung oleh universitas yang bersangkutan berdasarkan nilai tersebut.
Demikian, disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Malik Fadjar
pada Pembaruan di Jakarta, Selasa (4/3/03)).
Dikatakan Malik, selain nilai
UAN, PTN dapat mengujikan beberapa hal yang menjadi tambahan universitas
bersangkutan. Dicontohkan untuk sekolah guru, bisa dilakukan tes performance
dan tes buta warna bagi pelamar. "Hal itu bukan barang baru lagi karena
sebelumnya sudah pernah dilakukan seperti itu. Jadi calon mahasiswa langsung
melamar ke Perguruan Tinggi bersangkutan dengan nilai yang dia miliki,"
katanya.
Beberapa universitas, kata
dia, sudah menyambut baik hal tersebut. Universitas Gajah Mada (UGM) dan
Institut Teknologi Bandung (ITB), menurut dia, menyetujui untuk merekrut
langsung mahasiswanya. Untuk universitas besar, kata dia, tidak ada masalah
karena pelamar tetap datang ke sana.
"Yang menjadi masalah adalah
universitas-universitas kecil yang menumpang nama pada universitas besar.
Banyak PTN yang tidak percaya diri untuk melakukan tes secara langsung,"
katanya. Lebih lanjut Malik menyatakan bahwa sistem kompetisi harus makin
ditingkatkan untuk menaikkan mutu lulusan. Bila siswa tidak mampu, kata
dia, bisa disediakan kelas persiapan, dan tidak menutup kemungkinan ada
SMU persiapan. Malahan untuk mata kuliah tertentu, kata dia, harus dilakukan
matrikulasi untuk menjamin kualitas. Dia kembali menekankan agar pelaksanaan
UAN benar-banar berbasis mutu.
"Jangan takut banyak siswa
yang tidak lulus. Dulu saat sekolah kita masih Sekolah Rakyat (SR), dari
20 orang hanya 4 orang yang lulus, sisanya hanya tamat belajar," katanya.
Menyamakan mutu dari ujung
Aceh hingga Papua, kata dia, bukan masalah mudah sehingga harus berani
melakukan pembaruan. Selain itu kontinuitas dalam menjamin mutu pendidikan
nasional sangat penting.
Sementara menurut Rektor
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. Sutjipto, berdasarkan Surat
Keputusan Mendiknas, seleksi bagi penerimaan mahasiswa baru memang sudah
diserahkan pada universitas masing-masing. Menurut dia, pihak universitas
menganggap nilai UAN sulit untuk dijadikan dasar sebagai penerimaan mahasiswa.
Apalagi UAN baru dilakukan tahun ini.
"Nilai itu mungkin bisa kita
pakai untuk menerima calon mahasiswa melalui jalur Penelusuran Minat, Bakat
dan Kemampuan (PMDK). Bukan untuk seluruh mahasiswa," katanya.
Menurut dia, saat ini pihak
universitas tidak mengetahui kualitas soal-soal dalam UAN karena sama sekali
tidak terlibat dalam penyusunan soal. Untuk itu, kata dia, harus dilakukan
pengujian apakah UAN dapat menjadi dasar penilaian bagi PTN.
Sampai saat ini, kata dia,
pihak PTN merasa UMPTN yang kini berubah nama menjadi Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB), merupakan cara yang paling efektif untuk menyaring
calon mahasiswa.
"Kenapa dulu nilai Ebtanas
tidak kita jadikan dasar, karena nilai itu berbeda dengan apa yang kita
pakai sebagai seleksi. Ebtanas adalah hasil akhir bagi pendidikan menengah,
hanya menguji bidang studi yang diajarkan. Sedangkan dalam SPMB, ada unsur
lain yang kita masukkan. Soal-soal yang kita pakai itu untuk meramalkan
apakah anak-anak akan bisa melanjutkan ke PTN," katanya. (AS/E-5)
RUU Sisdiknas Mulai Dibahas:
PP Pelengkap UU
Terbentur pada Kekuatan
Hukumnya
JAKARTA - Suara Pemabruan
(28/02/03)--Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas)
inisiatif DPR akhirnya mulai dibahas DPR dan pemerintah hari Kamis (27/2/03).
Setelah sempat tertunda selama setahun karena amanat presiden belum turun
kedua belah pihak berharap UU itu segera dapat disahkan.
Dalam pembahasan pertama,
menurut Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar, hanya empat hal yang
sudah dibahas. Pertama, secara substansial kedua pihak sudah sepakat bahwa
memang diperlukan UU baru untuk mengatur Sisdiknas. "Kami sudah sepakat
dalam hal substansi UU itu. Namun, mengenai redaksional, ada yang masih
harus dibahas," katanya.
Kedua, menurut dia, pembahasan
harus dilakukan pasal demi pasal secara mendalam karena aturan tersebut
akan mengatur masalah yang sangat penting. Lalu poin ketiga yang dibicarakan
adalah mengenai sinkronisasi dalam UU. Untuk membahas hal itu, akan dibentuk
tim sinkronisasi. Keempat, mengenai prosedur pembahasan.
Menurut Malik, dia tidak
akan terburu-buru dalam melakukan pembahasan karena pasal per pasal harus
dicermati dengan baik. "Kalau memang dapat disahkan pada 2 Mei 2003 sebagai
momentum, ya itu bagus. Tetapi, sebaiknya jangan terburu-buru untuk mensahkan
UU itu, hati-hati saja," katanya. Lamanya waktu yang dibutuhkan Pemerintah
untuk membahas RUU tersebut memang diakui Malik. Namun, dia menegaskan
bahwa selama satu tahun, pihaknya menggunakan waktu tersebut untuk menerima
masukan dari berbagai pihak.
Rapat Kerja
Sebelum pembahasan RUU Sisdiknas,
diadakan rapat kerja antara Mendiknas dengan Komisi VI. Dalam rapat itu
anggota dewan mempertanyakan mengenai pembuatan UU untuk melengkapi RUU
Sisdiknas, yang oleh media disebut sebagai UU turunan. Menjawab hal itu,
Malik mengatakan bahwa semua itu baru sebatas wacana. Dijelaskan pernah
ada UU Perguruan Tinggi, juga UU Wajib Belajar. Jadi, menurut dia, UU yang
sekarang menjadi wacana bukanlah hal baru.
RUU yang disebut sebagai
UU turunan, menurut dia adalah sebagai upaya menyelesaikan permasalahan
pendidikan tinggi yang terjadi selama ini, terutama bidang pendidikan tinggi
dan pelaksanaan wajib belajar.
Menyikapi UU Sisdiknas Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Satryo S Brodjonegoro mengatakan
banyak hal yang harus dibahas dalam UU itu.
"Setelah saya baca versi
DPR ternyata UU itu sangat minim. Kalau nanti dibutuhkan peraturan pemerintah
(PP), kami sudah siap. Tetapi yang harus dijadikan pertimbangan adalah
kekuatan hukum PP itu sendiri. Bagaimanapun PP dalam sistem hukum kita
berada di bawah UU. Jadi, kita lihat saja nanti bagaimana pembahasan RUU
itu bersama DPR," katanya. Sebelumnya Anwar Arifin mengakui memang UU yang
disiapkan DPR minim sehingga harus ada sejumlah PP yang mengikuti. Setidaknya
dalam draf RUU Sisdiknas inisiatif DPR, ada 34 PP yang akan mengikuti UU
tersebut. (AS/L-2)
Hapus Diskriminasi Guru Pendidikan
Luar Sekolah
Jumat, 28 Februari 2003
BANDUNG -Suara Pembaruan--
Sejumlah penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS) meminta Pemerintah untuk
segera menghapus diskriminasi, marjinalisasi dan image "anak tiri" dalam
program PLS. Pasalnya, hal itu secara psikologis pendidikan akan membuat
peserta didik yang mengikuti kegiatan belajar di Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) menjadi tidak percaya diri.
"Diskriminasi dan marjinalisasi
tidak hanya dirasakan para siswa PLS, tetapi para tutor atau guru dan penilik
PLS juga mendapat perlakuan tidak adil. Mereka mendapat tunjangan fungsional
hanya Rp 75.000, sedangkan penilik PLS mendapat tunjangan 250.000," ujar
Kaslan, penilik PLS dalam dialog dengan Dirjen PLS di Bandung, Kamis (27/2/03).
Menurut Kaslan, jumlah tunjangan
yang diperoleh guru dan penilik PLS itu jauh berbeda dengan nilai tunjangan
para guru dan penilik program pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen)
atau program persekolahan reguler perbedaannya hampir 100 persen. Penilik
di Dikdasmen mendapat tunjangan Rp 480.000. Padahal, tugas tutor dan penilik
di PLS jauh lebih berat dari guru reguler di sekolah.
Mereka bersentuhan langsung
dengan anak-anak dari keluarga miskin yang masih ingin belajar, namun tidak
mempunyai uang seperti umumnya orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah
regular. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh siswa peserta program
belajar paket A setara SD, B setara SMP dan C setara SMU menuntut guru
untuk lebih keras mengajar di dalam kelas, sehingga proses transformasi
ilmu berjalan dengan baik. Dengan demikian mutu pendidikan di PLS bisa
setara dengan pendidikan regular.
"Guru dan pendidik sejati
bagi saya adalah guru yang mau mengajar anak-anak miskin di PLS karena
mereka memiliki rata-rata idealisme serta semangat mendidik luar biasa.
Ironisnya, pemerintah malah memperlakukan kami secara tidak adil. Kami
minta agar diskriminasi, marjinalisasi dan stigma bahwa PLS merupakan "anak
tiri" pendidikan segera dihapuskan," ujarnya.
Hal senada juga dikatakan,
Asep Kurniawan, penilik dari Garut, yang menegaskan bahwa citra buruk mengenai
pendidikan luar sekolah sebagai "anak tiri" harus segera dibuang. Hal itu
membuat anak-anak peserta program PLS sangat tertekan secara psikologis
karena mereka sering diejek rekan-rekannya.
"Saya kira harus dibuat
suatu formula pendidikan PLS yang tidak memberi kesan menjadi sekolah pinggiran
dan termarjinalisasi. Bagaimana membuat anak tidak merasa sebagai orang
pinggiran di tengah lingkungannya," ujar Asep.
Dirjen PLS
Menjawab persoalan itu, Direktur
Jenderal PLS, Dr Fasli Djalal mengatakan pihaknya terus berupaya agar citra
dan stigma kurang menyenangkan mengenai PLS itu segera dihilangkan. Kini
pihaknya, berjuang agar tunjangan fungsional antara tutor atau guru dan
penilik PLS bisa disamakan dengan pendidikan regular. Menciptakan pendidikan
luar sekolah agar menjadi lebih humanis dan menyenangkan harus mulai dilakukan.
Dijelaskan, tahun depan pemerintah pusat akan mendukung anggaran bagi Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB) dan Balai Pusat Kegiatan Belajar (BPKB), karena
setiap SKB akan mendapat dukungan dana Rp 75 juta sampai Rp 100 juta. Sedangkan
khusus untuk BPKB pemerintah pusat akan menyediakan dana antara Rp 400
juta sampai Rp 2 miliar. Menurutnya, untuk SKB yang juga memiliki program
belajar Paket A, B, dan C anggaran dapat digunakan untuk memfasilitasi
pelaksanaan program PLSP di lapangan, pengadaan peralatan kerja yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan dan memberikan informasi dalam mendukung program
belajar, membuat buku panduan dan memberi bantuan bagi pamong belajar yang
ingin belajar sendiri. (E-5)
Beasiswa Fulbright untuk
Gelar
Master (S-2) dan Doktor
(S-3) di AS
detikcom - Jakarta, American-Indonesian
Exchange Foundation (AMINEF) mengumumkan kompetisi terbuka bagi
para sarjana S-2 Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh beasiswa
Fulbright tingkat
doktoral untuk tahun akademi
2004/2005. Juga dibuka beasiswa untuk mereka yang ingin meraih gelar master.
Sebagaimana program Fulbright
lainnya, prioritas akan diberikan kepada pelamar yang berasal dari perguruan
tinggi negeri maupun swasta. Formulir permohonan harus sudah masuk ke AMINEF
paling lambat
31 Maret 2003.
Bidang studi yang ditawarkan
Program Fulbright mencakup 3 kategori, yakni:
1. PROFESSIONAL AND EDUCATIONAL
STUDIES:
Education- Environmental
Management- Journalism - Law - Mass Communication - Public Administration
- Social Work - Teaching English as a Second Language - Urban and Regional
Planning.
2. SOCIAL SCIENCES AND HUMANITIES:
American Studies - Anthropology
- Art History - Civic Education -Comparative Religion - Creative Writing
§Economics - History -International Relations (including International
Security Studies) - Islamic Studies - Linguistics - Literature - Philosophy
- Political Science - Psychology - Sociology.
3. THE ARTS:
Dance - Fine and Applied
Arts - Architecture - Music - Theater Arts -Museum Studies - Arts Management
or Cultural Preservation Management.
Pelamar untuk program doktor
diwajibkan untuk memenuhi seluruh persyaratan berikut ini:
-
Memiliki gelar sarjana S-2 dari
universitas di AS dengan IPK minimal 3 dari skala 1-4
-
Lancar berbahasa Inggris dan
emmiliki nilai TOEFL minimal 600.
-
Belum berusia 40 tahun pada
tanggal penutupan pendaftaran 31 Maret 2003.
-
Memiliki pekerjaan tetap dengan
pengalaman kerja minimal 3 tahun sejak lulus S-2.
-
Memiliki potensi kepemimpinan
serta pemahaman yang mendalam mengenai kebudayaan Indonesia dan internasional.
-
Memiliki komitmen terhadap institusi
kerja dan bersedia kembali ke institusi tersebut minimal untuk jangka waktu
4 tahun setelah kembali dari AS.
-
Menunjukkan komitmen terhadap
bidang studi ataukeahlian yang dipilih.
Dalam situsnya di http://www.usembassyjakarta.org/aminef,
juga diumumkan tentang beasiswa untuk mereka yang tertarik mengambil program
master.
Bila Anda tertarik, silakan
klik situs di atas atau hubungi kantor AMINEF di Gedung Balai Pustaka
Lt 6, Jl.Gunung Sahari Raya 4, Jakarta 10720. Telefon (021) 3452016, 3452018;
Fax (021) 3452050.
NASA Lanjutkan 'Guru ke Angkasa'
Kontributor : Wicak Hidayat
detikcom - (25/02/03)-- Jakarta,Meskipun
misi angkasa NASA (National Aeronautics and Space Administration)
terakhir mengalami kegagalan, NASA menyatakan akan tetap meneruskan program
'Guru di Angkasa'.
Menurut juru bicara dari
markas NASA di Washington, Dwayne Brown, email dan telefon yang masuk senantiasa
mendukung program ini, meski tragedi Columbia baru-baru ini terjadi. Demikian
diberitakan oleh NYTimes.com (25/02/2003).
Untuk kedua kalinya, NASA
mengumumkan program yang bertujuan meningkatkan minat anak sekolah kepada
luar angkasa. Dua program itu selalu disusul dengan tragedi yang mengerikan.
Program pertama adalah Challenger yang berubah menjadi tragedi pada
tahun 1986, sedangkan setelah pengumuman program yang kedua terjadilah
tragedi Columbia.
Berbeda dengan program yang
pertama, pada 1984 diumumkan oleh Ronald Reagan, kali ini pendidik yang
terlibat benar-benar sebagai anggota dari korps astronot bukan hanya penugasan
sementara.
Barbara Morgan sudah dipilih
sebagai peserta berikutnya dalam program ini. Peserta akan menyebarkan
pengalamannya bersama tim edukasi NASA ketika tidak sedang menjalani pelatihan.
Para guru yang terlibat dalam
program ini akan menggunakan teknologi terbaru seperti telepresence, internet,
webcast dan chat serta alat-alat multimedia lainnya, selain dari cara konvensional
tatap muka. Saat ini misi angkasa Columbia sedang ditunda karena dalam
penyelidikan federal. (tis)
Jumat, 21 Februari
2003 17:41:00
Surabaya-ROL--Telkom Jatim
setelah meluncurkan situs http://www.pesantrenonline.net
pada tahun lalu kini meluncurkan situs http://www.sekolah-online.net
yang
berguna untuk menghimpun situs-situs sekolah dengan penanganan mandiri
masing-masing sekolah melalui menu-menu interaktif yang mudah dioperasikan.
"Situs ini diharapkan dapat
menjadi media promosi sekolah dan media penghubung antara siswa, guru,
dan orang tua dalam proses belajar," kata Humas Telkom Divisi Regional
(Divre) V Jatim, Heru Widodo, di Surabaya, Jumat. Produk yang diluncurkan
tersebut, menurut Heru, sebagai salah satu wujud good corporate citizenship
Telkom terhadap dunia pendidikan di Jatim.
Data yang bisa diperoleh
melalui situs itu antara lain data detail tentang sekolah, forum komunikasi,
data siswa berprestasi, karya dan prestasi terbaru dan masih banyak lagi.
Heru mengatakan, sejak diperkenalkan situs www.sekolah-online.net pada
8 Januari 2003 tidak kurang dari 115 sekolah yang bergabung dalam komunitas
ini diantaranya SMU Negeri 2 dan SMU Negeri 3 Madiun, SMU Kompleks di Surabaya
dan beberapa SMU lainnya di Jatim.
Selain situs tersebut, Telkom
Jatim juga memberi akses khusus TelkomNet Instan kepada sekolah-sekolah
dengan diskon 40 persen dan bebas pasang baru. Layanan ini diberi nama
TelkomNet Sekolah. TelkomNet Sekolah menjangkau tingkat pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiah, Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, hingga pesantren.
Heru menambahkan, sekolah
yang sudah terdaftar dalam layanan TelkomNet Sekolah hingga kini mencapai
22 buah. Sekolah di Jatim yang berminat menjadi pelanggan TelkomNet Sekolah
bisa mendaftar di pelayanan Telkom terdekat. Antara/pra
Pendidikan Bernuansa Sentuhan
Batin
Oleh: Sutarno*),
Suara Pembaruan, 21 Februari
2003
 |
Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas), Malik Fadjar, baru-baru ini membuat pernyataan cukup menarik,
sekaligus memprihatinkan. Ia mengatakan, pendidikan kita telah lebih banyak
berorientasi pada materi sehingga kehilangan sentuhan batin.
Ia melanjutkan, berdasarkan
penelitian, apa yang paling mengesankan bagi anak-anak selama mereka bersekolah
ialah komunikasi, yaitu komunikasi yang interaktif. Bukan gedung mewah
yang menentukan, tapi sentuhan batin bagi mereka itulah yang terpenting. |
Pendidikan kita selama ini,
katanya selanjutnya, telah kehilangan hal itu karena lebih banyak berorientasi
ke materi (Suara Pembaruan, 4/2/2003).
Penulis sangat setuju dengan
sinyalemen yang dikemukakan Mendiknas tersebut. Sudah sejak lama para pakar
pendidikan mengeluh karena lembaga pendidikan kita, dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi, ternyata umumnya telah mengabaikan atau kehilangan
salah satu fungsi pokoknya, yaitu menyelenggarakan pendidikan, bukan hanya
pengajaran.
Kita tahu, pengajaran terutama
berkaitan dengan upaya pewarisan atau penerusan dan penguasaan pengetahuan
serta keterampilan. Hal itu lebih menyangkut masalah akal, penalaran dan
latihan. Sedangkan pendidikan berkaitan dengan perkembangan kejiwaan dan
kepribadian, budi pekerti dan etika.
Pendidikan berkaitan pula
dengan masalah bagaimana berperilaku, termasuk dalam hal penerapan ilmu
dan teknologi yang diserap melalui pengajaran.
Contoh-contoh yang jelas
mengungkapkan indikator hilangnya, atau setidak-tidaknya telah sangat melemahkan
unsur pendidikan dalam lembaga-lembaga pendidikan kita itu, misalnya, maraknya
tawuran antarpelajar dan bahkan juga mahasiswa. Banyak pelajar dan mahasiswa
yang terlibat tindak kejahatan, praktik-praktik kecurangan dalam ujian
dan penyelesaian tugas akademik (misalnya mencontek skripsi), dan sebagainya.
Mutu Rendah
Selain itu, patut juga disebutkan,
betapa banyak pihak mengeluhkan rendahnya mutu pengajaran di lembaga-lembaga
pendidikan kita sehingga lulusannya jauh di bawah standar yang diharapkan.
Motif para pelajar dan mahasiswa hanya untuk mendapatkan ijazah dengan
cepat dan mudah sedangkan lembaga-lembaganya, bagaimana mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya. Apakah ilmu dan pengetahuan yang diserap itu benar-benar
memenuhi persyaratan, tidak dipermasalahkan dan dipedulikan.
Pernyataan itu mungkin terlalu
keras dan bernada generalisasi. Namun, berdasarkan kenyataan empiris, banyak
kasus yang membenarkan hal itu. Mereka yang terlibat langsung di dalam
kegiatan belajar-mengajar di lembaga-lembaga pendidikan tentu sulit membantah
kenyataan itu. Sebuah contoh berikut kiranya dapat menggambarkan kenyataan
itu.
Seorang manajer HRD (human
resource development) mengeluh. Dalam usahanya merekrut calon staf, para
calon yang telah lolos ujian saringan tahap pertama dan berasal dari tiga
perguruan tinggi terkenal, ternyata mutunya sungguh sangat mengecewakan.
Kalau alumni dari ketiga perguruan tinggi favorit itu saja mutunya demikian
rendah, lalu bagaimana dengan alumni perguruan tinggi lain-lainnya? Pernyataan
manajer itu mungkin tidak dapat dijadikan patokan untuk menarik kesimpulan
umum yang demikian. Namun, cukup penting untuk disimak dan dijadikan indikator.
Mengherankan
Dari sinyalemen-sinyalemen
di atas, tampaknya banyak pihak menyimpulkan, mutu lembaga-lembaga pendidikan
kita, dalam hal pendidikan maupun pengajarannya, ternyata memprihatinkan.
Kenyataan itu sebenarnya sangat mengherankan. Sebab, pada sisi lain, kita
juga mengamati bahwa berkat berbagai kemajuan di bidang nutrisi pangan
dan kesehatan, serta teknologi komunikasi, maka pertumbuhan dan perkembangan
fisik maupun inteligensi anak-anak kita umumnya cukup baik.
Kita sering terheran-heran,
betapa anak-anak balita kita sekarang begitu pintar dan cerdas. Acap kali
berperilaku dan berbicara seperti orang-orang dewasa saja. Selain itu,
para remaja dan angkatan muda kita mendapat kesempatan yang amat luas untuk
menikmati dan memanfaatkan kemajuan-kemajuan teknologi di segala bidang.
Kalau kenyataan menunjukkan
bahwa mutu pen- didikan dan pengajaran lembaga-lembaga pendidikan kita
itu umumnya rendah dan memprihatinkan, maka di mana letak kesalahan- nya?
Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Dan faktor-faktor tersebut,
baik yang eksternal maupun internal, juga saling berkaitan.
Faktor-faktor eksternal ada
di luar lembaga, yang hidup dalam masyarakat, yang secara langsung atau
tidak mempengaruhi lembaga. Misalnya faktor-faktor ekonomi, politik, kebudayaan,
orientasi dan gaya hidup dan sebagainya. Faktor-faktor itu berpengaruh
secara positif maupun negatif terhadap lembaga dan para pengelola lembaga
karena lembaga merupakan bagian integral dari masyarakat. Kita tentu saja
harus lebih waspada terhadap pengaruh-pengaruh negatif, seperti kecenderungan
gaya hidup yang materialistik dan konsumeristik, kekacauan dan kemerosotan
nilai-nilai serta norma-norma moralitas dan etika, dan lainnya.
Dalam hal ini lembaga pendidikan
yang tidak memiliki visi dan misi idiil yang jelas dan tegas, pasti akan
mudah terlanda dan terkena imbas-imbas negatif dari masyarakat tempat ia
hidup dan berada. Lembaga pendidikan itu bukannya mempengaruhi masyarakat,
tapi justru terpengaruh dan menjadi alatnya!
Dengan demikian, situasi
dan kondisi internal dari lembaga pendidikan itu sendiri, sangat penting
perannya menyangkut sarana dan prasarana maupun sumber daya manusianya.
Dengan kata lain, apakah situasi dan kondisi lembaga itu, dari aspek fisik
maupun idiilnya, benar-benar kondusif untuk menunjang pelaksanaan proses
pengajaran dan pendidikan yang baik?
Apakah penyelenggara lembaga
pendidikan itu memiliki visi dan misi yang baik dan benar mengenai lembaganya,
sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan?
Moral dan Etika
Dalam situasi kecenderungan
untuk komersialisasi juga mengancam eksistensi dan fungsi lembaga pendidikan,
pertanyaan tadi relevan dan urgen untuk dijawab dengan kritis. Pendidikan
yang baik merupakan salah satu hak asasi manusia dan warga negara. Pendidikan
itu juga merupakan kebutuhan asasi karena menjadi prasyarat untuk mengembangkan
kehidupan.
Sebab itu, tidak etis dan
harus dicegah apabila lembaga memperjualbelikan pendidikan dengan harga
yang cenderung memeras masyarakat. Alasan atau dalih dari lembaga-lembaga
pendidikan elite bahwa pendidikan yang baik itu mahal sehingga harus dijual
dengan harga mahal juga, tidak dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan
dari segi keadilan sosial.
Salah satu pertanda komersialisasi
pendidikan itu tercermin dari sebutan "konsumen" yang kini sering dikenakan
juga bagi peserta didik/pelajar/mahasiswa. Sebutan itu jelas mencerminkan
cara berpikir dan sikap tertentu yang berlatarbelakang dan berorientasi
bisnis-komersial.
Dari uraian singkat di atas
kiranya dapat disimpulkan, hilangnya sentuhan batin dalam pelaksanaan pendidikan
kita sekarang, disebabkan oleh menguatnya materialisme seperti disebutkan
Mendiknas. Sentuhan batin itu juga hilang akibat orientasi bisnis dan komersialisasi
pendidikan, yang antara lain telah mengakibatkan praktik massalisasi pendidikan
dan pengajaran. Demi pemasukan uang, jumlah pelajar/mahasiswa tidak dibatasi
secara ketat lagi. Demikian pula dengan program-program yang ditawarkan.
Materialisme dan komersialisme
itu jelas ada sangkut-pautnya yang erat. Persoalannya, mungkinkah kecenderungan
materalisme dan komersialisme yang melanda lembaga-lembaga pendidikan kita
itu dicegah atau dihilangkan? Kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh kecenderungan
itu telah banyak kita sadari dan ketahui. Tidak ada yang diuntungkan dari
praktik materalisme dan komersialisme pendidikan, kecuali mungkin para
pengelolanya.
Sebab itu, masalahnya ialah
bagaimana menumbuhkan kesadaran dan kemauan pada mereka itu untuk benar-benar
memiliki visi dan misi yang benar tentang hakikat dan tugas lembaga pendidikan.
Sebab lembaga itu merupakan wadah pengajaran dan pendidikan berdasarkan
prinsip keadilan sosial, untuk selanjutnya menerapkannya dengan konsisten
dan konsekuen.
*)
Penulis adalah teolog, mantan Rektor UKSW Salatiga.